Friday, March 11, 2011

Televisi

Membicarakan televisi (TV) mengingatkan kita pada tahun 1980an, di mana televisi masih merupakan barang langka. Jikapun ada, televisi hitam-putih sudah merupakan barang yang mewah. Hanya sedikit rumah, -apalagi di kampung-kampung-, yang di dalamnya dapat ditemukan televisi. Apabila ada film nasional disiarkan, orang satu kampung bisa menjejal-penuhi rumah si pemilik.

Akan tetapi, amboi..., saat ini hampir semua rumah, bahkan di kampung sekalipun, sudah memiliki televisi. Dan bahkan berwarna. Pertanda kemajuan/peningkatan kesejahteraan-kah? Bisa jadi. Seiring dengan itu adalah fakta bahwa hampir seluruh televisi yang ada adalah profit oriented. Lalu, apakah keberadaan televisi benar-benar membawa lebih banyak hal yang positif?



Setiap saat televisi memberikan siaran-siaran bertubi-tubi tanpa ada yang bisa membendungnya. Pengajian di pagi hari, berita setiap saat, dari film dewasa sampai film anak-anak, sinetron, gosip, siaran olahraga, musik, komedi, talkshow, reality show, deep news, analisa, kuis televisi, dokumentasi bahkan iklan memberondong mata dan telinga jutaan, bahkan milyaran orang di dunia. Televisi telah merasuki otak manusia di mana saja. Bahkan, jauh sebelum adanya (pengaruh) internet seperti sekarang ini, pola kehidupan manusia di bumi telah turut terbentuk oleh televisi. Ya, TV!

Bagi banyak penonton, keberadaan televisi adalah penting sebagai hiburan. Sebagian lagi menjadikan televisi sebagai sumber informasi. Kedua hal itu adalah sama; siaran acara dari televisi. Ya, yang terpenting bagi penonton adalah siaran acaranya. Tapi bagi stasiun televisi yang terpenting adalah keberadaan selingan di antara acara-acara yang ada; iklan.

Bagi stasiun televisi, seolah-olah yang terpenting adalah menyajikan siaran yang memanjakan mata dan telinga penonton; siaran yang memberikan 'keindahan' dan kesenangan. Padahal hal ini semata-mata hanya agar bisa terus menarik penonton dan mendapatkan audiens yang besar. Ketika acara 'milik' penonton berdurasi antara 30 menit s/d 2 atau 3 jam, maka iklan adalah kehidupan televisi dari mulai mengudara hingga tutup siaran.

Acara televisi vis-a-vis iklan; di balik pesonanya, televisi adalah makhluk bermuka dua. Ia mungkin bisa menganjurkan hal-hal baik, tapi dibalik itu ia memberikan jebakan sikap konsumtif, yang tidak semua penontonnya bisa berbuat seperti ini. Ia akan memberikan hiburan yang membuai bagaikan candu. Akan tetapi ia juga 'memaksa' penonton untuk memiliki capital yang cukup untuk bisa mendapatkan yang lebih lagi dari stimulasi kesenangan sebelumnya. Iklan-iklan bagaikan 'vignet' di ruang kosong bawah sadar otak manusia yang lambat laun mempengaruhi motorik manusia (om Freud).

Skor iklan vs acara; 1-1? Tidak! Jika iklan mewakili pemilik siaran, sedangkan acara adalah penonton, maka pada injury time penonton akan kalah telak. Acara yang disiarkan televisi sendiri tidaklah sekompak barisan iklan yang selalu muncul. Antara satu dengan yang lain, acara televisi seringkali saling bertentangan dalam hal implikasi moral yang timbul. Pada akhirnya, hanya kepada satu hal acara televisi berpihak; kepentingan pemilik (yang profit oriented).

Apa pedulinya dengan penonton? Acara televisi pun saat ini semakin banyak yang sebenarnya tidak bermutu. Bagian ini menyasar pemirsa,-yang bisa merasa sangat senang dan terhibur-, dengan standar yang rendah. Standar yang telah berhasil dibentuk sebelumnya. Contohnya sinetron. Pada awalnya standar sinetron cukup baik. Akan tetapi, semakin lama semakin banyak muncul sinetron yang bergantian 'menawarkan diri' di hadapan penonton. Karena tiap hari dijejali dengan berbagai sinetron yang bermutu rendah (dari yang kejar tayang, sampai sinetron tempat latihan artis karbitan dan sutradara bermodal), lama kelamaan toleransi penonton, terhadap kualitas, semakin adaptif.

Sungguh sayang sekali, kini banyak orang yang telah semakin maklum, permisif dan tidak selektif terhadap acara-acara televisi. Bahkan acara untuk anak-anak kecil mereka.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...